Tokoh pendidik dan pemerhati
masalah anak-anak, Seto Mulyadi mengritik sistem pendidikan nasional.
Tokoh yang juga Ketua Umum Komisi Perlindungan Anak Indonesia tersebut
menilai bahwa salah satu pemicu kekerasan yang terjadi pada anak-anak
ialah karena salahnya sistem pendidikan di Indonesia.
“Anak-anak kita masuk sekolah seperti hidup dalam penjara. Mereka
dibebani padatnya materi pelajaran, setiap hari dibebani PR (pekerjaan
rumah-red), dipaksa mengerjakan ujian nasional (UN), dan kalau tak bisa
mengerjakan soal, dihukum,” katanya di hadapan 1.500-an peserta
Seminar Nasional Mengasah Berbagai Kecerdasan Anak Sejak Dini di Gedung
Al Mabrur Rumah Sakit Islam (RSI) Klaten.
Kondisi tersebut, jelas pria yang akrab disapa Kak Seto ini, lama-lama
menjadi bom waktu yang membuat tak sedikit anak bangsa terjerembab pada
perilaku menyimpang atau aksi nekad bunuh diri. Hal itu disebabkan
karena sekolah dan peran orangtua di rumah tak mampu memberikan rasa
damai bagi anak-anak.
“Inilah bentuk kekerasan pada anak-anak. Ketika nilai pelajarannya
bagus diacungi jempol, namun ketika jeblok langsung dibodoh-bodohkan,”
terangnya.
Anak, urai Kak Seto, pada dasarnya dilahirkan memiliki kecerdasan. Baik
itu kecerdasan intelegensi, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional,
kecerdasan spiritual, kecerdasan oral, kecerdasan nada, kecerdasan
tubuh, atau kecerdasan seni. Sayang, sistem pendidikan nasional di Nusantara masih banyak yang berorientasi dalam mengejar kecerdasan kognitif.
Akibatnya, anak yang memiliki kecerdasan selain kognitif dipingirkan dan
dianggap tak berprestasi. “Inilah semestinya peran guru dan orangtua
dalam menemukan potensi anak. Bukannya diserahkan kepada pemerintah
pusat,” terangnya.
Dalam acara yang digelar Klub Belajar Metode Cepat (MBC) itu, Kak Seto
juga banyak menyindir perilaku berlebihan para orangtua serta guru dalam
mendidik anak. Misalkan menyekolahkan anak-anak ketika usia masih belum
cukup umur, memaksa anak-anak untuk menguasai pelajaran tanpa memberi
ruang bermain, serta minimnya kreativitas pengajar dalam menyampaikan
ilmu.
“Padahal, sekolah itu merupakan hak anak, bukan kewajiban anak.
Sedangkan, yang berkewajiban itu adalah pemerintah serta orangtua dalam
menyediakan ruang berkreativitas bagi anak-anak dalam mengejar ilmu.”
Sumber :http://www.solopos.com/2011/klaten/s...nak-anak-84754
Tidak ada komentar:
Posting Komentar